Sabtu, 15 Mei 2010

CERPEN III

MIMBAR KEMASLAHATAN

Oleh: Imam Suhaimi


Ada yang bilang mirip tikus tapi sebenarnya tidak becus, jenawa akan rakus. Memuja keserakahan tapi mandul kebajikan. Gebrakan yang berlawanan dengan lontaran mengundang pujian serta banjir sanjungan.

“ Sebagai bangsa yang beradab, Mari bersama-sama kita jaga moral bangsa ini!”.

Idealis namun datar, hanya moral bangsa bukan penghuni bangsa ini, termasuk sang penyeru lantunan kemaslahatan itu sendiri. Sebagai seorang kyai dan merangkap sebagai pejabat, begitulah dakwah sekaligus sambutannya yang sering ia sampaikan. Ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-nenek, kecil, remaja, muda sampai yang tua, bahkan wanita beranak dua itu, ya, Ratih namanya dia masih ingat betul siapa sang penyejuk hati, pengendali emosi, pemberi semangat arti hidup itu. Hampir setiap saat Ratih menikmati untaian pesan agar selalu menjaga keelokan Negeri ini-Menjadi bumbu pengantar rutin sebelum Ratih pasrahkan diri untuknya setiap ada kesempatan menikmati sunyi, hening, dan menciptakan kehangatan dalam dinginnya malam.

Kelak aku pasti akan dikenang”

“Mas lakukan semua ini untuk siapa?”

“Aku hanya ingin namaku dikenang, bukan untuk siapa-siapa”

Ratih mulai memutar halusinasinya dan mengutak-atik ingatannya saat sang penyeru kemaslahatan itu berdiri gagah di atas mimbar. Ucapannya lugas nan tegas, membuat siapa saja terkesima memperhatikannya. Sekejap mata beningnya memerah, yang tadinya kering menjadi basah, mengalir melewati pipi di samping kanan-kiri hidungnya yang indah, dibiarkan saja melompat ke tanah. Bersamaan tetesan bening basah itu, Ratih menyiksa diri dengan memaki, marah, dan mengamuk dalam gejolak jiwanya. “Aku gagal!”. Menagis dan menyesali diri, mengapa hanya menjadi pendengar saja?. Tak ubahnya saat ia pasrah dan manut tat kala seorang pria gagah, kekar, dan berisi memberi komando terhadap dirinya, melucuti satu persatu pelindung tubuhnya, berekspresi meyakinkan agar tak tampak tipuan. Seolah-olah menikmati walaupun sesungguhnya ia tak ingin melakukan, semata hanya demi gugurnya suatu kewajiban.

“Seharusnya aku bisa selamatkan dia”

Tapi hidup begitu cepat, dalam sekejap Jhonniko lenyap bersama puluhan apartemen, kendaraan mewah, rumah mewah di setiap sudut kota, puluhan istri simpanan, belum lagi puluhan pacar gelap yang tak terhitung secara resmi. Apalagi saat tertangkap basah menerima “Ongkos pelicin” dari seorang kolega berstatus pengusaha sekaligus donatur ketika dia berkompetisi mengemis kepercayaan masyarakat. Semuanya sudah tak terlihat namun tetap nampak. Hutang budi harus dibalas, hutang harta apalagi. Mungkinkah harus lupa diri?. Ah, bukan. Ratih tak sependapat. Pujaan hati yang ia nikahi 35 tahun yang lalu dan hanya mewariskan 2 bocah yang kini sudah tambah lincah, bukan karena hutang budi. Dia hanya lupa diri. Ya, tepatnya mementingkan hidupnya sendiri. Sampai-sampai KPK tak segan-segan menggiringnya ke dalam bui. Sunyi sendiri tak ada yang temani, karena stress Jhonniko akhiri hayatnya dengan gantung diri yang hanya dibantu seuntas tali, akhirnya sang penyeru lantunan kemaslahatan itu mati. Atas kepergiannya, hanya anak-istri saja yang menagisi, selebihnya bangsa dan penghuni negeri ini meng-Amini. Mudah-mudahan dia dan pengikutnya tak muncul kembali.

******

Anyaman bambu menggantikan tembok tebal pelindung yang kokoh, warna dinding putih merona tak tampak lagi menerangi, hanya suram-rapuh yang menghiasi. Bukan kembali pada jaman priminif atau ikut serta Festival Malang tempo doeloe, Jogja tempo doloe, Indonesia tempo doloe atau apalah yang beraroma tempo dulu nan jadul. Yang pasti panci-panci emas, piring-piring perak tak ada lagi, yang tersisa hanyalah kuali. Setiap hari tikus-tikus menjadi bagian akrab keluarga yang tak dikehendaki, namun kehadiran binatang menjijikkan itu selalu membuat hati dan perasaan Ratih ikut-ikutan risi. Mungkin kalau harus ditanya, binatang apa yang paling dibenci oleh Ratih, ia selalu ingin menjawab dengan berteriak sekencang-kencangnya “Tikuuuus” ya, binatang itu bau, menjijikkan, gemar mencuri makanan atau apa saja yang bisa diembat, suka nyelonong, biadab, dasar hewan tak beretika, tak tahu diuntung “Menyebalkan”. Ratih Ratna Ningsih, Adma Jhonniko dan Zulma Jhonniko harus menjalani pengapnya hidup warisan suami dan bapak mereka. Hanya Adma yang sedikit beruntung, hampir sepuluh tahun lamanya dia bisa menghirup dan melepaskan kembali udara kesegaran. Atas kebaikan negeri ini, dia bisa memborong ilmu yang dia inginkan di luar negeri sana. Ke negeri Arab atas jasa Departemen Agama. Bukan karena anak mantan pejabat, tapi karena pemikiran cerdas ditopang otak yang tumbuh berkembang lebat, jadilah Adma Jhonniko anak muda hebat yang berbakat. Dia hanya akan kembali kelak jika kesuksesan sudah diraihnya. Sedangkan Ratih dan Zulma dirumah saja, sebagai perempuan mereka memilih menjadi orang rumahan.

“Zul, ada undangan pengajian?”

“Tidak ada bu”

“Sebaiknya begitu”

Ibu Zulma alias Ratih Ratna Ningsing alias Nyonya Jhonniko yang terhormat istri pejabat, mata silaunya dipenuhi bayangan sosok biadab tak beradab, telinga sesak akan khotbah sesat. Hidung mampet seketika ada bau menyengat, bukan karena bau tak enak, tapi wewangian itu selalu bervariasi setiap kehadirannya pada malam-malam kecuali malam jumat. Tidak ada hobi koleksi minyak wangi melainkan kaum hawa yang berhawa wangi mengrimkan wewangiannya lewat sentuhan yang dahsyat. Ratih tak bisa mengingat puluhan aroma wewangian di tubuh pujaannya itu. Hanya aroma miliknya, selebihnya tak tahu siapa saja empunya.

“Ibu, hidup hanya sekali, kenapa hanya dihiasi penyesalan diri?”.

“Aku tidak menyesal”

“Kalau tidak menyesal, kenapa harus mengurung diri?”

“Aku tidak mengurung diri”

“Kalau tidak mengurung diri, kenapa harus menyendiri?”

“Aku tidak menyendiri”

Kalau tidak menyendiri, kenapa masih ditangisi?”

“Aku tidak menyesal, aku tidak mengurung diri, tangisanku bukan untuk dia”.

Kali ini Zulma bisa mendengar ibunya berbicara dengan kalimat panjang, panjang sekali.

“Dia pendusta, kata-katanya manis semanis air tebu, seruannya menggelegar sampai tak ada yang berani melanggar”.

“Ibu tenang ya!” Zulma mencoba menyirami kata-kata dingin untuk meredam emosi Ratih, ibunya.

“Apanya yang tenang, kamu suruh aku tenang, tapi kamu sendiri malah tegang”

“Mirip dia, ya persis. Saat di mimbar itu”.

Ratih Ratna Ningsih Alias Nyonya Jhonniko yang terhormat istri sang pejabat menarik nafas sejenak. “Dia bilang jangan korupsi, tapi uang negara dia habisi”

“Jadilah pasangan setia, dia sendiri suka berfoya-foya dengan para wanita”

“Ibu, istighfar”

“Seharusnya dia yang istighfar, biar tak mati terkapar”

“Ibu, bapak sudah pergi, janganlah terus dibenci, biarkan bapak menghadap yang maha suci”.

“Ia Zul, betul kata kamu, mudah-mudahan gubuk ini tetap suci, tidak dihinggapi anjing penggonggong omong kosong”.

Amin..” Zulma sepakat dengan permohonan Ratih, walaupun tidak tahu secara langsung, setidaknya para tetangga mereka sering bercerita tentang bapaknya yang ingin dikenang, kenangan sang penyeru lantunan kemaslahatan penuh kemunafikan.

“Tidak ada lagi tikus nyelonong naik ke atas mimbar kemaslahatan”. Kali ini Zulma juga meng-Amini.

“Zulma, ibu akan tetap di sini”

“Ia buk, tapi ibu harus tetap makan, jangan ngelamun terus”

“Aku sudah makan setiap hari”

“Ibu makan hanya untuk badan, kenapa ibu tidak coba bergaul dengan dunia luar bersama para tetangga?”

“Maksud kamu ngerumpi dengan mereka? Dan ngomongin terus bapakmu yang biadab itu?”

“Bukan begitu maksud Zulma, kita bisa ikut arisan, pengajian rutin atau acara-acara yang lain.”

“Tidak, aku tidak mau, ibu malu”

“Ibu tidak perlu malu, semua pasti akan berakhir”.

Zuma terus mencoba meyakinkan Ratih, ibunya. Sudah hampir 10 tahun Ratih tak keluar rumah, hanya Zulma Jhonniko yang paham bagaimana kulit putih bersih menjadi keriput, badan seksi tinggal tulang-belulang, rambut hitam pekat memutih terang, Ratih pun tak sadar suara merduanya juga ikut berubah serak.

*******

Hari ini mungkin akan menjadi hari yang indah bagi Zulma, setelah sekian lama terpenjara dengan kutukannya sendiri akhirnya Ratih bersedia menuruti ajakan putrinya. Kebetulan kelompok ibu PKK sedang mengadakan peringatan Maulid Nabi SAW. Mereka mengundang da`i kondang.

Inilah kesempatan bagi Zulma untuk menyembuhakan ibunya yang ingin gila tapi tak jadi gila, ingin stres urung menjadi stres. Maka tempat yang dipadati oleh jamaah ibu PKK, turut hadir juga suami-suami mereka, sudah disediakan mimbar megah untuk sang penceramah. Ratih dan putrinya, Zulma duduk paling depan. Mereka tidak ingin hanya sekedar datang dengan duduk di barisan belakang, Ratih ingin sisa hidupnya lebih tenang. Namun tak ada yang menyangka, mula-mula mata cerah menjadi suram, hidung sekejap mampet, telinga kembali hampa. Dada terasa diinjak-injak. Mulut menjadi beku untuk bergerak apalagi berucap, ingin sekali berteriak. Ratih tak tahan lagi. Benar, ia gemetar, tangan menggenggam seperti ingin menghantam.

“Sebagai bangsa yang beradab! mari bersama-sama kita jaga moral bangsa ini”.

Ustad Ahmad Adman Jhonniko sang kiyai muda merangkap pejabat berdiri tegap di atas mimbar.

Sejurus kemudian tangan genggaman kanan Ratih terangkat seketika telunjuknya menjulur kedepan dan berteriak. “Ada tikus di mimbar kemaslahatan!”. Ratih tak sadarkan diri, badannya tak bertenaga lagi, nafasnya pun mungkin tak akan kembali.


*Bangkalan-Madura, 10 April 2009

*Malang, 06 Mei 2009

CERPEN II

KULIAH

oleh: Imam Suhaimi*

“Assholaatukhoirumminannauuum2x.. AllohuAkbar2X.. Lailahaillallooh..”

“Nak ayo cepet bangun, entar sholat berjemaahnya telat”

Kaki kecil itu melangkah dengan lincah, dingin dan beningnya air pagi itu menghiasi wajahnya. Tampaklah bersinar dari muka yang cerah nan polos, mengingatkanku pada seseorang yang kukenal 7 tahun yang lalu.

Tampan, tegas dan pekerja keras sifat yang diturunkan almarhum bapaknya pada Maik..ya, anakku satu-satunya itu sebenarnya punya nama panjang Ahmad Mikail.

“emmak..emmak..” “ada apa Mik..?oh maaf emmak keliru lagi, oya, ada apa Maik.?” Aku harus panggil dia begitu, katanya biar keinggris-inggrisan dan kedengarannya lebih keren.

“Emmak tau.. aku ini umur berapa?” dia memulai perbincangan.

“iya tahu, emang kenapa?” jawabku balik bertanya.

“Nah, emak tahu Taufiq, Laily sama Noer?”

“Ya tahu, mereka kan semuanya sepupu kamu”

“yach emmak, dunia juga pasti pada tahu, bukan itu maksudku.” Lanjutnya agak kecewa dengan jawabanku.

“Begini lho mak, emmak pernah bilang kalau kita berempat itu lahirnya barengan, Cuma selisih beberapa menit aja, harinya sama bulan juga sama, tahunnya juga.”.

Ya..yaa..aku baru inget, sekarangkan waktunya dia masuk sekolah dasar. Aku sudah menelantarkannya.

Taufiq, laily, sama Nour sudah didaftarkan bahkan sudah satu bulan yang lalu mereka merasakan suasana baru, seragam warna putih dan merah mereka tempelkan dibadannya setiap pagi.

Anakku.. oh anakku, kenapa aku lupa dengan pendidikanmu. “Emmak lagi mikirin apa?” dia menghentikan lamunan penyesalanku.

“Emmak pergi pagi, pulang malam, aku gak bakalan marah mak. Kan semua itu emmak lakuin katanya biar aku tetep bisa makan”.

“Sudahlah mak, jangan sedih, emmak lihat ini.” Dia menyambung lagi sambil menjulurkan tangan dan kemudian menunjukkan sebuah gelang.

Barang itu membuat hatiku berdebar, jantuk berdetak kencang, tekanan darah naik, keningku kukerutkan seseram mungkin.

“Dengar ya nak… Walaupun emmakmu ini susah, kerja harus banting tulang, saat panas kekeringan, waktu kehujanan mesti kedinginan. Tapi nak.. aku gak pernah minta kamu berpangku tangan sama orang lain, gelang emas itu.. kalo itu hasil minta-minta, kembalikan keasalnya, apalagi hasil mencuri, sekalian aja kamu pergi, gak usah tampakkan mukamu, lenyap aja sama barangmu itu..”

Aduh.. tampaknya aku keterlaluan dan berlebihan, gak semestinya aku marah panjang lebar, dan menuduhnya sebelum ku Tanya kebenarannya.

Ah.. dasar si Maik lugu, dia gak peduli kalo ada orang yang lagi naik pitam, dia hanya tahu cuma nada satu emmak yang suka ngomel sama dirinya.

“Emmak tenang dulu, aku gak bakalan melanggar perintah emmak”. Untunglah dia masih tenang menghadapi ibu satu-satunya ini.

“Begini mak, tadi pagi aku beli jajan berhadiah kalo beruntung, nah aku beruntung dapet gelang emas, ini tanda buktinya”.

Aku termenung sejenak ketika melihat apa yang ditunjukkan maik. Katanya gelang itu kalau dijual cukup buat beli seragam dan bayar biaya sekolahnya bahkan sampai luluspun masih ada sisanya.

*******

Kini ia sudah tamat sekolah dasar, itu berarti waktunya sekolah dijenjang yang lebih tinggi.

“Emmak, di desa sebelah katanya ada sekolah negeri baru”. Lagi-lagi aku kalah cepat, padahal aku juga inget akan pendidikannya.

Ngomong-ngomong sekolah baru itu, memang lagi promosi, katanya biayanya murah, gak pake uang gedung lagi.

“Disana aku bisa juga gratis, asalkan mengajukan permohonan beasiswa bagi yang gak mampu” dia mulai meyakinkanku.

“Emangnya sudah tentu dapet? Gak pake seleksi dulu?” tanyaku.

“Ya diseleksi mak, tapi kan peluangnya lebih besar dari pada beasiswa berprestasi, kalau yang itu banyak saingannya karena orang selalu bersaing menjadi yang berprestasi” Dia hentikan sejenak penjelasannya seraya menarik nafas.

“Beda mak, sama orang tidak mampu alias miskin, gak ada orang itu bersaing menjadi yang termiskin” lanjutnya.

Dasar ABG lugu, padahal orang miskin dinegeri kaya ini kan banyak, apalagi pas ada bantuan buat GAKIN, makin banyak yang mendaftarkan diri bahkan membeludak.

Kembali ke Ahmad Mikail alias Maik, dia sedikit beruntung, bisa sekolah gratis, bahkan di sekolah lanjutan (SMU) juga gratis, lagi-lagi dapet beasiswa bagi yang kurang mampu.

*****

“Emmak mau berangkat? Hati-hati ya mak, entar selesai dari kuliah, aku bekerja, nyusul emmak ” Seperti biasa dia menyapaku sebelum aku berangkat bekerja setelah Sholat Shubuh.

Namun pagi ini aku sudah gak kuat memendam sesuatu, kesedihan, kewajibanku dan haknya yang belum terpenuhi. Sudah Empat Tahun Maik lulus SMU.

“Emmak kok gak berangkat?”

“Kenapa emmak sedih, jangan mak, aku sudah terbiasa begini, gak ada yang bisa merebut kebahagiaan ini, emmak segalanya, sudah banyak yang emmak berikan, gak ada yang kurang”

Tetap saja kata-kata anak sedewasa Maik gak bikin aku tenang, yang ada tambah sedih.

“Emmak pernah bilang, memberikan warisan ilmu itu lebih baik dari pada mewariskan harta” Sambungnya penuh idealis

Aku pun tambah sedih sambil memeluk dia erat-erat.

“ya sudah, Emmak dengerin aja dulu, sekarang yang memberikan kuliah Ust. Jefri, berangkatnya entar bareng-bareng sama aku.”

“Nak.. maafin emmak” akupun harus bicara sama dia

“Gak ada niatan emmak kayak gini, kamu harus kuliah beneran!”

“Maksud emmak?” tanyanya heran dan panik

“kuliah yang dapet gelar, bukan nonton ceramah AA Gym, U-J ato yang lainnya di TV setiap ba’da Shubuh kayak gini!”****

Malang, 2008

CERPEN I

1001 HARI SINDREGAWI MENANTI

Cerpen Oleh : Imam Suhaimi


Aku tidak paham kenapa bulan di langit masih meronta kadang tertawa. Di dalam gua yang penuh berang dan lintah jelita, aku sedikit ragu dalam pertapaanku, mampukah aku kelak menjelma?

Sedangkan langkahmu yang patah-patah terus-menerus mengusikku, keluar-masuk ke dalam gua membuat sinar bulat cahaya bulan dari secarik lubang gua menjadi tidak tenang.

Sampai sinar bulatan cahaya bulan yang kamu ganggu digantikan oleh cahaya matahari, kamu masih tampak meringik seperti kuda, sambil membisu dan matamu dibiarkan berkaca-kaca.

“Sindregawi, aku mohon, biarkan aku melewati semua ini!”. Gumamku dalam hati.

Aku tidak boleh mengeluarkan suara dari mulutku – pantangan – bagi aku yang ingin memilikimu sepenuhnya.

Aku harap kamu bisa mendengarkan apa yang aku rintihkan di hatiku, tolong kamu pahami!.

Baiklah, kalau kamu belum paham sekarang kamu pulang saja sana ke istanamu. Temui bapakmu, tanyakan apa yang sedang terjadi, kenapa aku sampai duduk terpejam di sini, di dalam gua bawah gunung Tlekung di keheningan telinga aku menyendiri.

Jangankan ular cobra yang ganas atau kalajengkling yang licik menjelajahi sambil menusuk setiap jengkal tubuhku dengan bisanya, tidak pernah aku hiraukan.

Apalagi tubuh semampaimu yang kamu tampakkan di sekitarku, aku terus mencoba menahan untuk menjelajahinya. Nanti dulu sayang! Belum waktunya.

Lihat saja kalau aku berhasil menjelma, aku akan menggelinding sesukaku berkali-kali, berhari-hari juga. Akan aku lakukan di ranjang kamar yang bersebelahan dengan kamar bapakmu di istana nanti.

Ya.. kamar bercat cokelat itu, aku sengaja memilihnya supaya bapakmu tahu bagaimana perkasanya aku setiap kali bertarung denganmu di kamarmu itu.

Oh iya.. kalau kamu sudah sampai di istana dan berjumpa dengan bapakmu, sampaikan salamku. Katakan padanya bahwa sebentar lagi aku akan penuhi perintahnya untuk memilikimu sepenuhnya.

Kamu juga jangan khawatir, aku sudah dititahkan menjalani rangkaian pertapaan ini, dari awal aku sudah bilang, jangan ikuti aku, jangan bawa makanan. Percuma, makanan itu hanya akan menjadi santapan tokek, tikus, kadang tupai sesekali menikmati makanan bawaanmu. Lalu yang terakhir sekelompok lalat mangais sisa-sisanya.

Sindregawi, kamu harus percaya, aku pasti bisa bertahan sampai hari ke 1001. Hari ini sudah ke 999 menurut hitunganku. Aku masih kuat – itu berkat segerumbulan lalat yang sering hinggap di bibirku dan perlahan masuk ke dalam mulutku yang menganga, setelah beberapa lalat itu masuk aku menelannya tanpa aku kunyah.

Pastilah setiap hari kamu merengek-rengek sama bapakmu, apa yang sebenarnya terjadi?.

Sindregawi, bapakmu pernah berjanji, dia hanya akan memberi tahumu tentang sebenarnya pada hari ke 1000, itu berarti esok.

Esok bapakmu akan memberi tahu kamu kalau aku lakukan ini sebagai pembuktian kesetiaanku. Selain itu juga sebagai hukuman terhadapku.

Kamu tahukan mengapa aku mendapatkan hukuman dari bapakmu?

Sebenarnya bukan hanya karena aku sering mengajakmu bercumbu di kamar mandi, atau bercinta setelah aku mengepel dan merapikan kamarmu – yang kamu anggap sebagai ungkapan terima kasih kepadaku.

Atau di kamar bapakmu saat aku diberi amanat menjaga kamarnya. Waktu itu bapakmu bilang pergi untuk satu minggu ke negeri seberang untuk merancang strategi kerjasama keamanan kerajaan.

Satu minggu penuh kita menikmatinya di kamar bapakmu. Sehari bisa tiga kali, sesekali juga dikamarmu.

Dengan bebas kita bercinta, karena tidak ada yang berani menghalangi kita masuk ke kamar bapakmu. Para pengawal tahu aku sudah mendapatkan amanah menjaga kamarnya, sedangkan kamu tidak lain adalah putri kesayangannya.

Sindregawi, selain kita kepergok menjalin kisah asmara oleh bapakmu, ada alasan lain mengapa dia berniat memenggal kepalaku.

Sebenarnya aku ingin mengatakannya sendiri sama kamu, tapi kamu juga tahu, pantanganku tidak boleh bergeser tempat dari pertapaanku, lagian aku juga tidak boleh berucap dengan siapapun termasuk kamu.

Sampai lembayung melilit tubuhku, tetap saja tidak menyurutkan aku untuk bergerak meraihmu.

Aku berharap kamu bersabar sayang! Walaupun hukuman ini melibas hatiku, aku tetap bersyukur, itu karena bapakmu tidak jadi menebaskan pedangnya di leherku dan membiarkan hidup terasing disini.

Setidaknya aku tetap bisa merasakan aroma wangi tubuhmu saat menjengukku.

Kamu bilang pikiranmu sudah kalut. Mungkin kalau boleh aku ungkapkan, pikiranku juga terasa sangat kelu.

Sindregawi, aku sangat mencintaimu, dinding gua ini juga tahu, batu-batu yang kaku juga tahu. Kamu bersiap saja, aku punya rencana membuatkan kamu pedongkang yang mewah, kita bisa berlayar berpetualang ke samudra dan melepas rindu di setiap pulau yang kita singgahi kelak.

Oh iya.. aku juga titip salam buat Swardiana, tolong sampaikan sama istri bapakmu itu, kalau lagi kesepian pergilah ke jendela, arahkan tatapan keluar, nikmati renai embun malam hari.

Tapi jangan lupa untuk tidak membuka jendela, sebab angin malam bisa saja mengacaukan kecantikannya.

Swardiana pasti bangga telah mewariskan kecantikannya sama kamu. Tapi kalau boleh aku membandingkan, sebenarnya dia seribu kali lebih cantik dari pada kamu.

Itu sebabnya mengapa bapakmu membiarkan aku hidup, Swardiana yang minta, bapakmu takut kehilangan dia, apa yang dia minta pasti diturutinnya. Aku harap kamu tidak tersinggung dengan ujaran perasaanku ini.

Bagaimana keadaanmu selama ini di istana? Pasti kangen untuk menyeruput teh panas bikinanku. Terus apa Bik Ipah sudah melaksanakan tugasnya menggantikannku?

Salam juga buat dia, jangan lupa menyediakan teh panas, roti bakar sedikit keju di pagi hari, terus siangnya masak nasi dan sop bening, tidak usah ditambah buntut. Kasihan bapakmu, nanti darah tingginya kambuh kalau terkena lemak atau daging.

Sebaiknya kalau malam jangan lupa bikin tumis kangkung. Supaya kalian cepat ngantuk dan bisa tidur nyenyak dan tidak ada yang terkena insomnia.

Maafkan aku, sekarang aku tidak bisa melayani kamu beserta keluarga besar istana. Aku juga kangen dengan suasana pagi hari, saat kalian terkekeh di teras depan sambil menikmati teh dan roti bakar bikinanku.

Merunut sejak kapan dan berapa lama aku bekerja menjadi pelayan istanamu, tidak pernah terjawab. Namun aku tetap senang karena pernah melayani kamu, bapakmu, dan tentu saja Swardiana.

********

hari ini adalah hari ke 1001, setelah sekian lama kamu menanti, kini kamu datang ke tempat pertapaanku.

Tidak seperti biasa, di petang yang remang-remang ini kamu datang dengan pengawal yang lebih banyak. Mereka kamu suruh membawa bebatuan besar dan pasir, lalu kamu perintahkan untuk menyusunnya di bibir muka gua yang menjadi satu-satunya jalan keluar.

Aku tidak akan marah dan menyalahkan kamu. Aku tahu pasti bapakmu sudah menceritakan semuanya bukan?

Ah Sindregawi.. aku juga tidak kaget dengan tindakanmu ini, kamu biarkan jantungku tersesak dan membelot. Nadiku juga kamu buat berhenti perlahan.

Sindregawi, maafkan aku, waktu itu setelah satu minggu kita berpesta di kamar bapakmu, aku pikir tidak akan lagi merasakan empuknya tempat tidur bapakmu.

Bapakmu juga pasti sudah bercerita ketika dia belum bisa pulang karena belum ada titik terang kesepakatan kerjasama keamanan dengan negeri seberang.

Swardiana bilang bapakmu harus melakukan perundingn satu minggu lagi, dan Swardiana dimintanya untuk pulang terlebih dahulu.

Sebenarnya aku sudah menolak, tapi Swardiana terus membujukku, kecantikannya juga menggodaku untuk menerima tantangannya.

Sekali lagi maafkan aku. Tadinya aku mengira seminggu setelah dengan kamu, aku bisa melanjutkannya dengan Swardiana selama satu minggu penuh sebelum bapakmu pulang.

Tapi di hari kedua itu, saat fajar tiba, bapakmu tanpa dikira juga sudah berada dalam kamar mendapati aku pulas di atas dada Swardiana tanpa busana setelah semalam bertarung hebat.

Sindregawi, jelmaanku akan menemuimu di istana setiap malam untuk memilikimu sepenuhnya. Aku tidak peduli kamu dan bapakmu membenciku, tapi aku masih bisa bergentayangan mendatangi Swardiana – ibumu – yang belum membenciku.

Malang, 25 Agustus 2009