MIMBAR KEMASLAHATAN
Oleh: Imam Suhaimi
Ada yang bilang mirip tikus tapi sebenarnya tidak becus, jenawa akan rakus. Memuja keserakahan tapi mandul kebajikan. Gebrakan yang berlawanan dengan lontaran mengundang pujian serta banjir sanjungan.
“ Sebagai bangsa yang beradab, Mari bersama-sama kita jaga moral bangsa ini!”.
Idealis namun datar, hanya moral bangsa bukan penghuni bangsa ini, termasuk sang penyeru lantunan kemaslahatan itu sendiri. Sebagai seorang kyai dan merangkap sebagai pejabat, begitulah dakwah sekaligus sambutannya yang sering ia sampaikan. Ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-nenek, kecil, remaja, muda sampai yang tua, bahkan wanita beranak dua itu, ya, Ratih namanya dia masih ingat betul siapa sang penyejuk hati, pengendali emosi, pemberi semangat arti hidup itu. Hampir setiap saat Ratih menikmati untaian pesan agar selalu menjaga keelokan Negeri ini-Menjadi bumbu pengantar rutin sebelum Ratih pasrahkan diri untuknya setiap ada kesempatan menikmati sunyi, hening, dan menciptakan kehangatan dalam dinginnya malam.
“Kelak aku pasti akan dikenang”
“Mas lakukan semua ini untuk siapa?”
“Aku hanya ingin namaku dikenang, bukan untuk siapa-siapa”
Ratih mulai memutar halusinasinya dan mengutak-atik ingatannya saat sang penyeru kemaslahatan itu berdiri gagah di atas mimbar. Ucapannya lugas nan tegas, membuat siapa saja terkesima memperhatikannya. Sekejap mata beningnya memerah, yang tadinya kering menjadi basah, mengalir melewati pipi di samping kanan-kiri hidungnya yang indah, dibiarkan saja melompat ke tanah. Bersamaan tetesan bening basah itu, Ratih menyiksa diri dengan memaki, marah, dan mengamuk dalam gejolak jiwanya. “Aku gagal!”. Menagis dan menyesali diri, mengapa hanya menjadi pendengar saja?. Tak ubahnya saat ia pasrah dan manut tat kala seorang pria gagah, kekar, dan berisi memberi komando terhadap dirinya, melucuti satu persatu pelindung tubuhnya, berekspresi meyakinkan agar tak tampak tipuan. Seolah-olah menikmati walaupun sesungguhnya ia tak ingin melakukan, semata hanya demi gugurnya suatu kewajiban.
“Seharusnya aku bisa selamatkan dia”
Tapi hidup begitu cepat, dalam sekejap Jhonniko lenyap bersama puluhan apartemen, kendaraan mewah, rumah mewah di setiap sudut kota, puluhan istri simpanan, belum lagi puluhan pacar gelap yang tak terhitung secara resmi. Apalagi saat tertangkap basah menerima “Ongkos pelicin” dari seorang kolega berstatus pengusaha sekaligus donatur ketika dia berkompetisi mengemis kepercayaan masyarakat. Semuanya sudah tak terlihat namun tetap nampak. Hutang budi harus dibalas, hutang harta apalagi. Mungkinkah harus lupa diri?. Ah, bukan. Ratih tak sependapat. Pujaan hati yang ia nikahi 35 tahun yang lalu dan hanya mewariskan 2 bocah yang kini sudah tambah lincah, bukan karena hutang budi. Dia hanya lupa diri. Ya, tepatnya mementingkan hidupnya sendiri. Sampai-sampai KPK tak segan-segan menggiringnya ke dalam bui. Sunyi sendiri tak ada yang temani, karena stress Jhonniko akhiri hayatnya dengan gantung diri yang hanya dibantu seuntas tali, akhirnya sang penyeru lantunan kemaslahatan itu mati. Atas kepergiannya, hanya anak-istri saja yang menagisi, selebihnya bangsa dan penghuni negeri ini meng-Amini. Mudah-mudahan dia dan pengikutnya tak muncul kembali.
******
Anyaman bambu menggantikan tembok tebal pelindung yang kokoh, warna dinding putih merona tak tampak lagi menerangi, hanya suram-rapuh yang menghiasi. Bukan kembali pada jaman priminif atau ikut serta Festival Malang tempo doeloe, Jogja tempo doloe, Indonesia tempo doloe atau apalah yang beraroma tempo dulu nan jadul. Yang pasti panci-panci emas, piring-piring perak tak ada lagi, yang tersisa hanyalah kuali. Setiap hari tikus-tikus menjadi bagian akrab keluarga yang tak dikehendaki, namun kehadiran binatang menjijikkan itu selalu membuat hati dan perasaan Ratih ikut-ikutan risi. Mungkin kalau harus ditanya, binatang apa yang paling dibenci oleh Ratih, ia selalu ingin menjawab dengan berteriak sekencang-kencangnya “Tikuuuus” ya, binatang itu bau, menjijikkan, gemar mencuri makanan atau apa saja yang bisa diembat, suka nyelonong, biadab, dasar hewan tak beretika, tak tahu diuntung “Menyebalkan”. Ratih Ratna Ningsih, Adma Jhonniko dan Zulma Jhonniko harus menjalani pengapnya hidup warisan suami dan bapak mereka. Hanya Adma yang sedikit beruntung, hampir sepuluh tahun lamanya dia bisa menghirup dan melepaskan kembali udara kesegaran. Atas kebaikan negeri ini, dia bisa memborong ilmu yang dia inginkan di luar negeri sana. Ke negeri Arab atas jasa Departemen Agama. Bukan karena anak mantan pejabat, tapi karena pemikiran cerdas ditopang otak yang tumbuh berkembang lebat, jadilah Adma Jhonniko anak muda hebat yang berbakat. Dia hanya akan kembali kelak jika kesuksesan sudah diraihnya. Sedangkan Ratih dan Zulma dirumah saja, sebagai perempuan mereka memilih menjadi orang rumahan.
“Zul, ada undangan pengajian?”
“Tidak ada bu”
“Sebaiknya begitu”
Ibu Zulma alias Ratih Ratna Ningsing alias Nyonya Jhonniko yang terhormat istri pejabat, mata silaunya dipenuhi bayangan sosok biadab tak beradab, telinga sesak akan khotbah sesat. Hidung mampet seketika ada bau menyengat, bukan karena bau tak enak, tapi wewangian itu selalu bervariasi setiap kehadirannya pada malam-malam kecuali malam jumat. Tidak ada hobi koleksi minyak wangi melainkan kaum hawa yang berhawa wangi mengrimkan wewangiannya lewat sentuhan yang dahsyat. Ratih tak bisa mengingat puluhan aroma wewangian di tubuh pujaannya itu. Hanya aroma miliknya, selebihnya tak tahu siapa saja empunya.
“Ibu, hidup hanya sekali, kenapa hanya dihiasi penyesalan diri?”.
“Aku tidak menyesal”
“Kalau tidak menyesal, kenapa harus mengurung diri?”
“Aku tidak mengurung diri”
“Kalau tidak mengurung diri, kenapa harus menyendiri?”
“Aku tidak menyendiri”
“Kalau tidak menyendiri, kenapa masih ditangisi?”
“Aku tidak menyesal, aku tidak mengurung diri, tangisanku bukan untuk dia”.
Kali ini Zulma bisa mendengar ibunya berbicara dengan kalimat panjang, panjang sekali.
“Dia pendusta, kata-katanya manis semanis air tebu, seruannya menggelegar sampai tak ada yang berani melanggar”.
“Ibu tenang ya!” Zulma mencoba menyirami kata-kata dingin untuk meredam emosi Ratih, ibunya.
“Apanya yang tenang, kamu suruh aku tenang, tapi kamu sendiri malah tegang”
“Mirip dia, ya persis. Saat di mimbar itu”.
Ratih Ratna Ningsih Alias Nyonya Jhonniko yang terhormat istri sang pejabat menarik nafas sejenak. “Dia bilang jangan korupsi, tapi uang negara dia habisi”
“Jadilah pasangan setia, dia sendiri suka berfoya-foya dengan para wanita”
“Ibu, istighfar”
“Seharusnya dia yang istighfar, biar tak mati terkapar”
“Ibu, bapak sudah pergi, janganlah terus dibenci, biarkan bapak menghadap yang maha suci”.
“Ia Zul, betul kata kamu, mudah-mudahan gubuk ini tetap suci, tidak dihinggapi anjing penggonggong omong kosong”.
“Amin..” Zulma sepakat dengan permohonan Ratih, walaupun tidak tahu secara langsung, setidaknya para tetangga mereka sering bercerita tentang bapaknya yang ingin dikenang, kenangan sang penyeru lantunan kemaslahatan penuh kemunafikan.
“Tidak ada lagi tikus nyelonong naik ke atas mimbar kemaslahatan”. Kali ini Zulma juga meng-Amini.
“Zulma, ibu akan tetap di sini”
“Ia buk, tapi ibu harus tetap makan, jangan ngelamun terus”
“Aku sudah makan setiap hari”
“Ibu makan hanya untuk badan, kenapa ibu tidak coba bergaul dengan dunia luar bersama para tetangga?”
“Maksud kamu ngerumpi dengan mereka? Dan ngomongin terus bapakmu yang biadab itu?”
“Bukan begitu maksud Zulma, kita bisa ikut arisan, pengajian rutin atau acara-acara yang lain.”
“Tidak, aku tidak mau, ibu malu”
“Ibu tidak perlu malu, semua pasti akan berakhir”.
Zuma terus mencoba meyakinkan Ratih, ibunya. Sudah hampir 10 tahun Ratih tak keluar rumah, hanya Zulma Jhonniko yang paham bagaimana kulit putih bersih menjadi keriput, badan seksi tinggal tulang-belulang, rambut hitam pekat memutih terang, Ratih pun tak sadar suara merduanya juga ikut berubah serak.
*******
Hari ini mungkin akan menjadi hari yang indah bagi Zulma, setelah sekian lama terpenjara dengan kutukannya sendiri akhirnya Ratih bersedia menuruti ajakan putrinya. Kebetulan kelompok ibu PKK sedang mengadakan peringatan Maulid Nabi SAW. Mereka mengundang da`i kondang.
Inilah kesempatan bagi Zulma untuk menyembuhakan ibunya yang ingin gila tapi tak jadi gila, ingin stres urung menjadi stres. Maka tempat yang dipadati oleh jamaah ibu PKK, turut hadir juga suami-suami mereka, sudah disediakan mimbar megah untuk sang penceramah. Ratih dan putrinya, Zulma duduk paling depan. Mereka tidak ingin hanya sekedar datang dengan duduk di barisan belakang, Ratih ingin sisa hidupnya lebih tenang. Namun tak ada yang menyangka, mula-mula mata cerah menjadi suram, hidung sekejap mampet, telinga kembali hampa. Dada terasa diinjak-injak. Mulut menjadi beku untuk bergerak apalagi berucap, ingin sekali berteriak. Ratih tak tahan lagi. Benar, ia gemetar, tangan menggenggam seperti ingin menghantam.
“Sebagai bangsa yang beradab! mari bersama-sama kita jaga moral bangsa ini”.
Ustad Ahmad Adman Jhonniko sang kiyai muda merangkap pejabat berdiri tegap di atas mimbar.
Sejurus kemudian tangan genggaman kanan Ratih terangkat seketika telunjuknya menjulur kedepan dan berteriak. “Ada tikus di mimbar kemaslahatan!”. Ratih tak sadarkan diri, badannya tak bertenaga lagi, nafasnya pun mungkin tak akan kembali.
*Bangkalan-Madura, 10 April 2009
*Malang, 06 Mei 2009